Meskipun menjadi guru bukanlah cita-cita awalnya—ia dahulu bercita-cita menjadi anggota polisi atau wiraswasta—Wiga merasa bahwa mengajar adalah jalan yang diberikan takdir. “Basic orang tua saya adalah guru, saya memiliki ilmu, jadi lebih baik digunakan daripada tidak terpakai,” ujarnya.
Namun, perjalanan mengajar Wiga tidaklah mudah. Selain gaji yang minim, ia juga harus menghadapi berbagai persoalan di sekolah. Dengan total 40 murid, Wiga mencatat banyak meja dan kursi yang mengalami kerusakan, dan fasilitas yang tidak memadai membuat proses belajar mengajar menjadi sulit. Bahkan, sekolahnya masih menggunakan Kurikulum 2013 dan KTSP, bukan kurikulum merdeka yang lebih modern.
“Sebagian besar murid saya adalah anak-anak pesisir yang tidak mampu membiayai sekolah. Banyak di antara mereka dilarang melanjutkan pendidikan karena disuruh orang tuanya bekerja,” jelas Wiga. Ia merasa bertanggung jawab untuk terus mendampingi murid-murid yang belum lancar membaca dan menulis, meskipun mereka sudah berada di jenjang pendidikan menengah.
“Banyak anak-anak di kelas 7, 8, dan 9 yang tidak bisa membaca dan menulis. Mereka sangat membutuhkan pendidikan yang intensif,” ungkapnya, dengan nada prihatin.