Dalam tradisi menanam padi, kebun milik raja atau kepala suku biasanya dilakukan dengan cara yang berbeda, jika kebun yang dikerjakan itu besar (Luang pinni) maka proses tanam dilakukan dengan cara yang berbeda yaitu dengan upacara adat yang disebut dengan bunni wang tunggu using/bunni wang leli. Tanam adat ini dilakukan melibatkan semua suku di suatu kampung. Dalam melakukan tanam adat ini dipertontonkan beberapa tarian atau atraksi-atraksi adat yaitu; Tunggu using, peda gra mural (saling potong menggunakan parang) dan taputang (saling pukul menggunakan belahan bambu) Pertunjukan ini dilakukan antar suku lawan suku. Orang-orang saling pukul bahkan bisa saling melukai tanpa ada amarah dan tanpa ada dendam. Atraksi ini biasanya dilakukan oleh orang-orang terpilih/profesional dalam masing-masing suku.
Setelah atraksi-atraksi budaya selesai, mereka duduk di tempat makan yang telah di sediakan, yaitu susunan batu berbentuk persegi panjang, yang disebut Laggang. Laggang/tempat makan ini dihiasi dengan bambu dan buluh. Bambu dan buluh yang ditanam mengelilingi laggang atau tempat makan itu seperti umbul-umbul, yang disebut seri-seri.
Masing-masing orang duduk ditempatkan makan/Laggang berdasarkan kasta dalam suku, bagian paling ujung barat sebagai kepala meja di tempati oleh raja/Kepala suku. Semua makanan dan minuman dihidangkan diatas Tanah. Untuk menyelesaikan makan, tidak boleh ada orang yang menghabiskan makan sebelum ada perintah dari kepala suku. Sebanyak apapun dan secepat apapun makanan yang kita makan, harus sisakan satu sendok sambil menunggu perintah kepala suku. Jika sudah ada perintah ini; “Wenang marung, pi kaisang gai” (orang tua dong, kita sendok sudah) barulah orang boleh menghabiskan makanan di piring masing-masing.
Setelah semua prosesi adat di kebun selesai, warga kemudian melakukan Leli sambil berjalan menuju rumah adat, mereka membawa daun bambu dan daun buluh yang mengelilingi tempat makan/Laggang sebagai simbol bulir padi yang disebut begul. Daun-daun yang mereka bawa itu diambil oleh keluarga raja kemudian ditukarkan dengan hadia yang telah disiapkan oleh suku raja. Dipercaya bahwa, jika suku raja tidak mengambil atau menukar daun-daun yang mereka bawa dengn hadiah berupa piring, gelas ataupun kain, selimut dan pakaian, maka kebun raja yang ditanami tersebut tidak akan menghasilkan padi atau akan terjadi gagal panen.
Setelah empat bulan berlalu, yaitu pertengahan bulan April hingga pertengahan bulan Mei adalah masa panen bagi semua orang Pantar, masa panen padi biasa disebut dengan istilah pungut padi, kalau hasil pungutnya baik kami menyebutnya ini tahun baik atau dalam bahasa daerah Lamma disebut Tunnu akku, dan jika hasil panennya buruk atau gagal panen, kami menyebutnya tahun tidak baik atau tunnu yasa.
Sistem pungut padi juga dilakukan secara beramai-ramai, pantun-pantun adat dilantunkan saat mereka memungut padi, pungut padi dilakukan setiap hari sampai lumbung-lumbung dipenuhi dengan hasil panen. Setelah lumbung-lumbung dipenuhi dengan hasil panen, kami menghitung berapa banyak atau berapa blek hasil panen yang diperoleh pada tahun ini.
Jika tahun baik, hasil panen satu tahun biasanya cukup untuk kebutuhan makan satu tahun. Jika tahun tidak baik maka ubi dan jagung menjadi makanan pengganti nasi.
Kemudian pada bulan Mei kami orang-orang Pantar mulai mempersiapkan perpuluhan dari hasil panen tahun itu, kemudian berbondong-bondong membawa perpuluhan padi dan jagung ditaruh di bawah Altar Gereja.
Itulah tradisi yang dilakukan oleh nenek moyang kami yang diwariskan turun temurun kepada kami dan kami masih lakukan sampai dengan hari ini.
BERBURU, meski rusa dilindungi, tetapi berburu rusa merupakan tradisi terbaik bagi laki-laki Pantar. Tradisi ini dilakukan oleh semua laki-laki Pantar. Setelah membersihkan ladang atau kebun mereka yaitu pada pertengahan bulan Oktober, Laki-laki Pantar baik remaja, dewasa ataupun orang tua semuanya sibuk mempersiapkan busur dan anak panah mereka untuk berburu dan membuktikan diri sebagai laki-laki perkasa.