Saleh Alwaini, pemilik lahan Gedung Binawan, mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap proses pengosongan. Dia menyebut tindakan pengosongan sebagai tindakan paksa yang tidak sesuai dengan norma. “Langsung dipaksa. Lihat saja ini semua barang-barang orang-orang tinggal di sini sudah tahunan, puluhan tahun. Apa namanya kalau bukan rampok?” ujar Saleh kepada wartawan di lokasi kejadian.
Sementara itu, Asmawan, juru sita dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), menjelaskan bahwa pengosongan dilakukan sesuai dengan perintah pengadilan. “Kami di sini hanya melaksanakan tugas dari pimpinan. Luas bangunan kurang lebih 10 ribu meter persegi. Kami melaksanakan sesuai dengan putusan yang ada,” kata Asmawan.
Sengketa Tanah dan Keputusan Pengadilan
Pengosongan Gedung Binawan merupakan hasil dari sengketa hukum antara pemilik lahan dengan sebuah bank. Kasus ini bermula dari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memenangkan gugatan sebuah perusahaan terkait lahan di Jalan Kali Pasir Nomor 16. Gugatan tersebut berisi permohonan pembukaan blokir oleh bank, yang memungkinkan perusahaan untuk mengajukan Hak Guna Bangunan (HGB) ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Namun, dalam proses banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memutuskan bahwa objek tanah tersebut adalah hak bank. Keputusan ini menandai perubahan kepemilikan yang memicu pengosongan gedung.