Komisi III DPR RI Menolak 12 Calon Hakim Agung dan Hakim Ad Hoc HAM, Reaksi dan Klarifikasi dari Komisi Yudisial

Mukti juga menjelaskan bahwa dua calon hakim agung yang dipermasalahkan diusulkan berdasarkan keputusan pleno yang melakukan kelonggaran persyaratan administrasi. “Dua calon hakim agung Kamar TUN Khusus Pajak yang tidak memenuhi syarat tersebut, merupakan keputusan pleno untuk memberikan kelonggaran persyaratan administrasi atau diskresi berdasarkan Pasal 22 UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan,” ungkap Mukti.

Menurutnya, alasan kelonggaran tersebut didasari oleh fakta bahwa Pengadilan Pajak baru dibentuk dan belum ada hakim pajak dengan pengalaman 20 tahun. “Secara normatif, hakim pajak adalah jalur hakim karir dengan pengalaman minimal 20 tahun. Namun, karena pengadilan pajak baru dibentuk pada tahun 2002, tidak ada hakim pajak yang memenuhi syarat tersebut. Hakim paling senior di Pengadilan Pajak hanya memiliki pengalaman 15 tahun,” jelasnya.

Selain itu, Mukti menyoroti urgensi kebutuhan hakim agung TUN Khusus Pajak yang sangat mendesak. “MA membutuhkan hakim agung TUN Khusus Pajak segera, mengingat tumpukan perkara yang mencapai lebih dari 7.000 kasus. Saat ini, MA hanya memiliki satu hakim agung TUN Khusus Pajak. Diskresi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan mendesak ini,” ujarnya.

Mukti menambahkan bahwa keputusan serupa pernah terjadi dalam seleksi hakim agung di masa lalu. “Kami meminta DPR RI untuk memberikan surat resmi mengenai penolakan ini agar kami bisa menentukan sikap kelembagaan KY. Sebelumnya, ada preseden serupa dengan pengangkatan hakim agung militer yang juga tidak memenuhi syarat 20 tahun pengalaman,” katanya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *