“Kami selaku penasehat/pendamping hukum terhadap Dewa Putu Pica sekeluarga untuk mengupayakan Somasi hukum kepada Bandesa Adat Desa Adat Pejeng Kawan dan MDA Kecamatan Tampaksiring, ” tandas Wayan Sumardika.
Disamping itu, korban kanorayang atau kesepakang Dewa Putu Pica didampingi putra sulungnya Dewa Putu Martana, mewakili keluarga mengungkapkan perasaannya saat ini, dengan diberikan sanksi adat terhadap dirinya sekeluarga, ia sekeluarga merasakan tertekan dengan ancaman ancaman seperti akan membuldozerkan bangunan rumahnya dan lain lain. Perlu diketahui bahwa sanksi adat tersebut sudah bejalan satu tahun, bayangkan bagaimana ada warga (krama) yang gak boleh sembahyang di Pura Desa lagi?
“Kami sekeluarga merasa tertekan dalam kehidupan sehari hari akibat keputusan Desa Adat yang sepihak, dan bila tidak mematuhinya keputusan tersebut, rumahnya akan dibuldozer ratakan tanah, dan lagi kami sekeluarga tak boleh lagi sembahyang di Pura Desa. Sanksi adat ini sudah berjalan satu tahun, saya (Dewa Putu Pica sekeluarga, red) korban dari kanorayang atau kesepakang, berharap untuk dapat diselesaikan secara kemanusiaan, agar kami bisa lagi seperti sediakala sebelum ada putusan sanksi adat tersebut,” tuturnya dalam penuh pengharapan, Dewa Putu Pica didampingi anak sulungnya Dewan Putu Martana.
Miris, sangat miris bila ada warga (krama) di dalam satu Desa yang dikucilkan gegara pemicunya adalah sengketa tanah dan itu juga sesama masih ada hubungan keluarga, dan yang sangat mengherankan lagi masih dalam satu sertifikat. Sungguh luar biasa memang, apabila hal tersebut terjadi dan tertutup sudah mata hati dikarenakan ada cuan disana. Semoga permasalahan dalam sengketa tanah tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Perlu diketahui apabila segala bentuk sanksi adat berbentur dengan hukum positif, maka sanksi adat tersebut gugur secara hukum yang berlaku menurut undang undang.