JAKARTA – Proses legislasi yang tergesa-gesa terkait dengan Rancangan Undang-Undang No 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (RUU Minerba) masih menuai beragam kritik dari masyarakat sipil. Mereka mengkhawatirkan bahwa pengesahan regulasi ini akan berdampak negatif pada lingkungan dan tata kelola pertambangan yang lebih luas. Beberapa pihak juga menilai pemberian peran lebih besar pada perguruan tinggi dalam pengelolaan sektor pertambangan akan menciptakan potensi konflik dengan tugas akademik dan sosial mereka.
Namun, meskipun ada gelombang penolakan, sejumlah pihak mendukung revisi UU Minerba ini, dengan alasan yang lebih berorientasi pada percepatan hilirisasi mineral dan batubara serta inklusivitas pengelolaan yang melibatkan perguruan tinggi (PT). Diharapkan dengan revisi tersebut, Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah produk pertambangan melalui pengolahan dan pemurnian di dalam negeri yang pada akhirnya akan berkontribusi pada penerimaan negara dan menciptakan lapangan kerja baru.
Pengelolaan sumber daya alam (SDA) strategis, seperti mineral dan batubara, sudah diamanahkan oleh UUD 1945 melalui Pasal 33, yang menekankan peran negara dalam menguasai bumi, air, dan kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dalam merevisi UU Minerba untuk mempercepat hilirisasi dan memberi akses pada masyarakat untuk berpartisipasi dalam sektor pertambangan, dinilai sejalan dengan tujuan konstitusi ekonomi Indonesia.